Sabtu, 09 Januari 2016

Jangan Anggap Remeh Besi tua

Belum maksimalnya industri hulu besi baja Indonesia membuat kalangan pelaku industri besi baja nasional mengandalkan pasokan besi bekas (scrap) sebagai bahan baku.
Indonesia punya sumber daya mineral seperti pasir besi atau bijih besi. Namun rendahnya kadar Fe yang dimiliki mineral-mineral itu, membuatnya perlu dimurnikan sebelum menjadi  pellet ironsponge ironpig iron atau besi kasar.
Nah sayangnya, industri permunian (smelter) belum berkembang, sehingga pasokan besi kasar pun terbatas. Akhirnya bahan baku besi tua jadi andalan.
Tidak ada angka pasti berapa kebutuhan besi tua nasional. Namun jika dihitung sederhana dimana komposisi bahan baku besi tua dua kali lipat dari produk, maka angkanya pasti fantastis.
Menurut data Kementerian Perindustrian, tahun 2015 produksi baja nasional 7 juta ton. Jika bahan baku dua kali lipat dari produksi, maka diprediksi kebutuhan bahan baku besi tua mencapai 14 juta ton.
Sedangkan Berdasarkan data organisasi untuk pembangunan dan ekonomi (OECD) pada 2013, total kebutuhan baja di Indonesia mencapai 12,69 juta ton. Sedangkan 8,19 juta ton di antaranya berasal dari impor dengan nilai 14,9 miliar dolar AS.

Kapitalisasi Besar
Saat ini, 70% dari kebutuhan itu masih dipenuhi dengan impor. Artinya, 30% kebutuhan besi tua dipenuhi dari dalam negeri atau angkanya 4 juta ton per tahun. Merujuk harga SteeI Indonesia.com dimana besi tua Grade A sampai Grade C rata-rata Rp 4.500 per kg, maka estimasi kapitalisasi bisnis besi tua nasional mencapai Rp 18 triliun setahun atau sekitar Rp 1,5 triliun per bulan atau Rp 50 miliar per hari!
Itu hanya dihutung dari scrap lokal saja. Bagaimana dengan impor scrap yang angkanya diperkirakan mencapai 10 juta ton per tahun? Diperkirakan omset bisnis ini secara nasional bisa mencapai Rp 70 triliun.
Harga beli pengepul seperti Rawi, memang mau tak mau, harus mengikuti harga dari pengepul yang lebih besar lagi. Rawi hanya mengambil margin beberapa ratus rupiah. Misalnya, saat Abu membeli besi bekas dari pemulung seharga Rp3.000. Biasanya, harga beli pabrik di kisaran Rp 3.700 per kilogram.
Margin keuntungan yang diambil Abu lumayan menggiurkan. Silakan hitung bila dalam satu bulan dia mampu menjual hingga 40 ton.
Sirkulasi uang di bisnis barang bekas memang tak boleh dianggap main-main. Bila pengepul sekelas Abu saja mampu memutarkan uang hingga puluhan juta rupiah per bulan, bagaimana dengan pemain-pemain besar barang bekas?
Ambil contoh, besi bekas atau yang lebih dikenal dengan sebutan scrap. Biasanya, scrap ini berbentuk lempengan besi berukuran 1x1 meter. Salah satu pemain scrap menaksir, besi bekas ini punya nilai pasar sebesar Rp500 miliar per bulan.
Tidak ada data pasti persebaran ‘kue’ besi tua ini secara nasional. Namun pola persebarannya dapat dibaca melalui keberadaan industri besi baja di suatu daerah. Misalnya di wilayah Surabaya dan sekitarnya ada PT Ispatindo (Sidoarjo) dan beberapa pabrik besi baja besar lainnya, maka bisnis besi tua di wilayah itu akan berkembang.
“Namun Surabaya masih kalah besar perputaraannya dengan Jabodetabek karena disini boleh dibilang pusatnya pabrik-pabrik baja besar seperti Gunung Garuda, Krakatau Steel, CakraTunggal, Toyogiri dan lain-lain,” ujar Direktur PT Putra Sumuragung H Abu Bakar Rawi.
Menurut pria yang memiliki tiga orang putri ini, secara nasional perputaran BISNIS besi tua masih dikuasai wilayah Jabodetabek. “Pertama masih Jabodetabek karena disini banyak pabrik besi baja yang seiap menerima peleburan. Kedua baru Surabaya,” katanya.
Daerah selanjutnya yang cukup besar perputaran bisnisnya adalah Semarang dan sekitarnya. Tiga wilayah ini di Pulau Jawa menurut Abu cukup besar porsinya.

“Mungkin 50% perputaran uang bisnis besi tua ada di pulau Jawa, selebihnya menyebar ke luar Jawa seperti Medan, Makasar, dan beberapa wilayah di Kalimantan,” tambah Abu. Peluang Bisnis Terbuka
Bisnis besi tua tergolong jenis bisnis dengan cara kerja sederhana sehingga dapat dilakukan oleh siapa saja. Ada tiga jenis rantai pasok di bisnis ini, yaitu pemungut (pencari) besi tua, pengepul, dan agen penyalur.
Keberadaan agen penyalur juga tergantung kebutuhan pabrik besi. Ada sejumlah pabrik besi yang menerima langsung pasokan besi tua dari pengepul, tapi ada juga harus melewati agen penyalur yang sudah ditunjuk pabrik besi tua.
Bisnis ini tidak memerlukan lini produksi karena memang tidak memproduksi barang. Semua lini dalam rantai pasok ini kecuali pengumpul pertama kali, bersifat broker. Para pengumpul besi juga tidak memproduksi, namun ‘mencari’ dan menerima penjualan besi bekas.
Biasanya pengepul besi bekas dibagi dua jenis, pengepul kecil dan pengepul besar. Pengepul kecil adalah mereka yang biasanya membuka lapak di pinggir-pinggir jalan. Nah pengepul-pengepul ini dimodali oleh pengepul besar untuk membeli besi tua dari pemulung.
Kemudian setiap seminggu sekali besi bekas dari pengepul-pengepul kecil itu diambil dan dikirim ke agen atau langsung ke pabrik peleburan besi. 
“Begitu saja cara kerjanya. Mudah dan simple. Cara pembayaran juga cash and carry. Kalau antar besi hari ini, hari ini juga dibayar oleh pabrik besi atau oleh agen,” kata Abu.
Menurut Rawi, bisnis besi tua ini sangat menarik sebab selain cara kerjanya mudah, perputaran uangnya juga sangat besar. “Jangan dilihat dari margin per kilogram yang hanya seratus atau dua ratus rupiah, tapi lihat dari volumenya, pasti menggiurkan,” pungkas Abu.
- See more at: http://steelindonesianews.com/detail.asp?id=1660#sthash.8loClTMZ.dpuf

0 komentar:

Posting Komentar